Oleh: SBS Tutorial
Topik permintaan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan ijazah aslinya sebagai alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah isu sensitif yang melibatkan aspek hukum, etika, politik, dan hak privasi. Permintaan tersebut banyak muncul dari sebagian kalangan yang masih meragukan keabsahan ijazah Jokowi, meskipun lembaga resmi seperti KPU, Mahkamah Konstitusi, dan UGM sendiri telah menyatakan bahwa Jokowi adalah alumnus sah UGM lulusan tahun 1985.
Permintaan ini juga sering muncul bukan semata-mata sebagai permintaan administratif, tetapi sebagai bagian dari narasi politik, teori konspirasi, atau ketidakpuasan terhadap kekuasaan.
Dalam uraian ini, kita akan membahas:
-
Dasar hukum dan batas kewenangan publik
-
Langkah-langkah hukum dan konstitusional
-
Hambatan dan tantangan memaksa pejabat membuka dokumen pribadi
-
Analisis etika dan komunikasi publik
-
Apakah mungkin memaksa presiden menunjukkan ijazah?
1. Dasar Hukum dan Konteks Konstitusional
A. Presiden Adalah Subjek Hukum Khusus
Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebagai warga negara, ia tunduk pada hukum, tetapi sebagai presiden, ia juga dilindungi oleh konstitusi. Untuk mengakses atau “memaksa” presiden mengungkap dokumen pribadi, diperlukan mekanisme hukum resmi dan bukan tekanan sosial semata.
B. Undang-Undang Pemilu
Menurut UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, seorang calon presiden wajib menyertakan dokumen kelulusan pendidikan. Dalam hal ini, Jokowi telah memenuhi syarat administratif saat mencalonkan diri pada 2014 dan 2019. KPU telah menerima dan memverifikasi dokumen itu.
Jadi, secara hukum, semua persyaratan formal sudah dilalui.
2. Cara Hukum: Gugatan, Judicial Review, dan Investigasi
Jika ingin memaksa presiden menunjukkan ijazah secara fisik atau otentik ke publik, satu-satunya jalur sah adalah jalur hukum. Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh warga negara atau lembaga:
A. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Jika seseorang menilai bahwa keputusan KPU menerima ijazah Jokowi tidak sah, maka bisa menggugatnya ke PTUN. Namun, ini hanya bisa dilakukan pada masa pencalonan, bukan setelah menjabat.
B. Pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi
Jika ada pihak yang menganggap bahwa undang-undang pemilu tidak cukup ketat dalam memverifikasi dokumen calon presiden, mereka bisa mengajukan uji materi ke MK agar verifikasi dokumen ke depan bisa lebih terbuka dan wajib ditampilkan ke publik.
C. Mengajukan Permintaan Informasi ke UGM
Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, masyarakat bisa mengajukan permintaan informasi ke UGM untuk menampilkan dokumen akademik atas nama Jokowi. Namun perlu diingat bahwa:
-
Dokumen pendidikan termasuk data pribadi yang dilindungi
-
UGM hanya akan membukanya atas persetujuan pemilik data (Jokowi)
Jika UGM menolak, pemohon bisa mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Publik (KIP).
3. Hambatan dalam Memaksa Presiden Menampilkan Ijazah
A. Presiden Bukan Subjek Gugatan Biasa
Presiden hanya bisa digugat secara hukum dalam konteks pelanggaran hukum pidana, pelanggaran konstitusi, atau impeachment. Gugatan soal dokumen pribadi tidak termasuk dalam kategori itu.
B. Hak Privasi Presiden
Menurut UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), ijazah adalah bagian dari data pribadi yang tidak bisa dibuka ke publik tanpa izin pemilik. Meskipun Jokowi adalah pejabat publik, ia tetap punya hak privasi kecuali ada alasan hukum yang sangat kuat untuk membukanya.
C. Sudah Ada Putusan Pengadilan
Pengadilan di Jakarta Pusat dan Mahkamah Konstitusi telah menolak gugatan-gugatan terkait keaslian ijazah Jokowi karena kurangnya bukti dan tak adanya alasan hukum yang sah.
4. Tekanan Politik dan Publik: Efektifkah?
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa jika tekanan publik cukup besar, Jokowi akan “dipaksa” membuka ijazahnya. Namun, pendekatan ini lemah karena:
-
Presiden bisa memilih untuk tidak meladeni isu liar, apalagi jika sudah dibantah oleh institusi resmi.
-
Jika diladeni, akan menjadi preseden buruk bahwa pejabat negara bisa ditekan secara politik untuk membuka dokumen pribadi di luar jalur hukum.
Satu-satunya cara agar tekanan publik berhasil adalah jika ada fakta baru yang kredibel dan signifikan.
5. Apakah DPR Bisa Memaksa?
Secara teori, DPR tidak bisa secara langsung memaksa presiden menunjukkan ijazah, kecuali sedang dalam proses hak angket, hak interpelasi, atau penyelidikan khusus terkait pelanggaran konstitusi.
Namun, isu ijazah tidak termasuk dalam pelanggaran konstitusi selama tidak terbukti adanya penipuan atau pemalsuan.
6. Analisis Etika dan Dampak Politik
Menekan seorang presiden untuk membuka dokumen pribadi, tanpa alasan hukum yang kuat, bisa menimbulkan dampak:
-
Polarisasi publik semakin tajam
-
Memperkuat politik kebencian (hate politics)
-
Melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara (KPU, UGM, MK)
-
Mengganggu stabilitas pemerintahan hanya karena isu yang belum terbukti secara hukum
Dalam demokrasi yang sehat, kecurigaan harus dibuktikan, bukan dibesar-besarkan. Jika tidak, yang terjadi adalah kriminalisasi politik berbasis hoaks.
7. Skenario yang Mungkin Memaksa Presiden Menunjukkan Ijazah
Satu-satunya skenario yang memungkinkan Presiden menunjukkan ijazahnya secara publik adalah jika:
-
Muncul bukti baru yang sangat kuat bahwa dokumen itu palsu
-
Ada investigasi resmi oleh lembaga negara atau DPR
-
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa perlu audit dokumen pencalonan
-
Jokowi secara sukarela ingin meredam isu demi alasan moral atau citra
Namun, sejauh ini tidak ada bukti baru, dan semua gugatan telah ditolak.
Kesimpulan: Tidak Ada Cara Legal untuk “Memaksa” Presiden Buka Ijazah
Dalam negara hukum, tidak ada ruang untuk pemaksaan di luar hukum. Jika ingin membuka dokumen pribadi Presiden, harus melalui mekanisme legal dan bukti kuat. Tanpa itu, semua hanya akan menjadi spekulasi dan politik opini.
Kalau kita percaya pada demokrasi dan supremasi hukum, maka kita harus tunduk pada putusan hukum, bukan pada gosip politik.
Penutup
Meminta transparansi dari pejabat publik adalah hal yang sah. Tapi memaksakan sesuatu tanpa dasar hukum adalah bentuk pemaksaan yang tidak demokratis. Jika ada keraguan, tempuh jalur yang konstitusional. Jika tidak ada bukti, maka diam adalah pilihan paling beradab.
Demokrasi bukan hanya tentang kebebasan berpendapat, tapi juga kebebasan dari disinformasi.
Comments
Post a Comment